A.A Oka Mahendra: Modul Tak Boleh Bertentangan dengan Undang-undangnya

JAKARTA—Akedemisi Perundang-undangan A.A. Oka Mahendra yang menjadi nara sumber pembahasan akhir Modul Penyelesaian Sengketa Informasi Publik seri Ajudikasi yang dilaksanakan Komisi Informasi Pusat menegaskan, modul yang akan diterbitkan itu harus dikoreksi secara teliti agar tidak bertentangan dengan Undang-undang yang menjadi payung hukumnya, yaitu Undang-undang Nomor 14 tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik dan Peraturan Pelaksanaannya.

Menurut Oka, sebagai petunjuk teknis, modul penyelesaian sengketa informasi seri ajudikasi ini tidak boleh rancu dan mempunyai pengertian yang berbeda dari Undang-undang KIP dan peraturan pelaksanaannya. “Modul ini sangat penting sebagai panduan teknis, tetapi tidak boleh rancu atau bertentangan,” tegas Oka.

PHOTO 02
A.A. Oka Mahendra (Akademisi Peraturan Perundang-undangan) memberikan materi terkait etika dalam penyusunan modul

Sebagai contoh, lanjut Oka, dalam draft modul seri ajudikasi ini muncul sebutan majelis komisioner. Dari telaah dan pengamatannya, sebutan majelis komisoner tidak ada di Undang-undang KIP dan peraturan pelaksanaannya. Dia khawatir kalau hal itui menjadi temuan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) apabila berkonsekuensi terhadap pemakaian anggaran.

Kritikan itu ditanggapi positif oleh KI Pusat. Menurut Evi Trisulo D, mejelis komisioner adalah sebutan untuk memberikan penjelasan tentang komisioner yang bertugas menjadi ‘hakim’ dalam menangani setiap kasus sengketa informasi yang akan disidang untuk diputuskan.

Dalam penanganan sengketa, lanjut Evi, KI Pusat telah mengeluarkan Peraturan Komisi Informasi (Perki) Nomor 01 tahun 2013 tentang Prosedur Penyelesaian Sengketa Informasi Publik yang terdapat sebutan majelis komisoner. “Perki 01/2013 menjadi panduan komisioner dalam menangani sengketa informasi. Disitulah ada sebutan majelis komisioner yang menyatakan tim komisioner yang bertugas menjadi ‘hakim’ sidang,” jelas Evi.

Proses keluarnya produk hukum itu juga, menurut Evi, telah dikonsultasikan pihak KI Pusat dengan Mahkamah Agung RI agar selaras dan tidak bertentangan secara hukum.

Selain itu, dalam fokus group discussion (FGD) yang digelar KI Pusat pada Selasa, 10 November 2015 di Jakarta itu, Oka Mahendra juga memberkan saran agar dalam modul itu ditelaah lagi agar bahasa yang ada dalam modul mempergunakan bahasa baku yang jelas dan menggunakan titik serta koma yang tepat. “Itu penting agar jelas, karena bisa jadi yang menggunakan bukan hanya komisioner KI, tetapi pihak-pihak lain seperti PPID, Badan Publik dan masyarakat,” imbau Oka. (smh)